Thema GMKI 2006-2008 : "Bangkitlah, Menjadi Taruk Bagi Bangsa (Yes 11:1-10)"       <<<---|||--->>>       Sub Thema : "Menguatkan Solidaritas Kemanusiaan dan Memperjuangkan Demokrasi Substansial Menuju Persatuan Indonesia yang Berkeadilan dan Bermartabat"


Home

About

Programs

Structure

Members

Gallery's

Contact's

Guestbook

 

 

 

 

 

 

 

 

 


ARTIKEL


BERTUMBUH DI TENGAH TANTANGAN

 

Oleh : James B.B. Tampubolon

(Wasek Bidang Kerohanian GMKI FP-USU 2004-2005)

 

“Tetapi Samuel yang muda itu, semakin besar dan semakin disukai, baik dihadapan Tuhan maupun dihadapan manusia”. (1 Samuel 2:16)

 

            Seperti seorang bintang sepakbola dunia pernah berkata “Saya sangat senang jika bisa berada di klub ini, karena saya akan berkumpul dengan bintang-bintang sepakbola yang terkenal lainnya. Dengan demikian, permainan saya akan lebih baik, karena dipacu oleh persaingan yang sangat ketat”. Ini merupakan gambaran yang baik bagi kita untuk menjelaskan tentang pertumbuhan iman seseorang yang berada di tengah-tengah lingkungan/tantangan yang tidak mudah.

            Samuel merupakan anak dari Elkana dan Hana yang diserahkan kepada Tuhan dibawah pengawasan imam Eli. Sedangkan anak imam Eli sendiri adalah orang-orang dursila, mereka tidak mau mendengarkan Tuhan maupun hak para imam (1 Sam 2:12-13). Perbuatan jahat anak-anak Eli adalah korupsi terhadap persembahan yang diberikan oleh semua orang Israel. Bahkan mereka tidak segan-segan mengambil persembahan itu dengan kekerasan.

            Meskipun sudah diperingatkan oleh imam Eli, tetapi mereka tidak berhenti berbuat jahat. Ditengah-tengah keadaan yang demikianlah Samuel hidup dan bertumbuh. Sangat berbeda dengan anak-anak imam Eli, Samuel yang muda itu, semakin besar dan semakin disukai, baik dihadapan Tuhan maupun dihadapan manusia.

            “Semakin besar” artinya semakin besar jasmani (wadah organisasi). Pertumbuhan jasmani (wadah organisasi), tidak secara otomatis menunjukkan pertumbuhan rohani. Namun Samuel tidak hanya bertumbuh secara jasmani, tetapi juga secara rohani. Kata yang menunjukkan pengertian “ia semakin disukai, baik dihadapan Tuhan maupun dihadapan manusia”, mengandung pengertian baik dan menyenangkan. Apa yang baik dan menyenangkan dihadapan Tuhan tentu bukan masalah jasmani, melainkan masalah rohani. Karena Tuhan tidak memandang apa yang dilihat manusia, tetapi Tuhan melihat isi hati (1 Sam 16:7).

            Oleh karena itu, kita sebagai pemuda/i kristen, ingatlah bahwa kita adalah tulang punggung keluarga, gereja dan bahkan bangsa Indonesia. Untuk dapat bertumbuh secara rohani, maka kita harus dapat menghargai lingkungan kehidupan seseorang dimanapun juga, serta dapat memilih dan memilah dengan tidak mengikuti apa yang “dunia” kerjakan. 


“PERANG DINGIN” ANTAR SESAMA ANAK TUHAN

(DI FP-USU)

 

Oleh : Mulyadi Pasaribu

(Ketua GMKI FP-USU 2006-2007)

 

Intro :

            Kemah adalah seorang mahasiwa Kristen  FP-USU yang tekun beribadah. Walaupun disibukkan dengan urusan perkuliahan dan lab (praktikum), namun Kemah tidak pernah lupa untuk meluangkan waktunya bagi Tuhan. Hampir setiap ada kesempatan, Kemah selalu mengikuti kegiatan kerohanian yang ada di kampusnya. Kemah lahir dan dibesarkan didalam kampus USU, atau dengan kata lain kemah adalah ‘PS’ (Pemuda Setempat) di lingkungan kampusnya. Kemah cukup selektif dalam memilih teman untuk bergaul dengannya. Namun entah mengapa, Kemah tidak terlalu suka bergaul dengan temannya yang bernama Gema. Menurut Kemah, Gema tergolong orang yang terlalu radikal dalam berpikir dan bertindak.

---

            Gema juga seorang mahasiswa Kristen     FP-USU yang tidak terlalu tekun beribadah di dalam kampus. Dalam kesehariannya, Gema lebih suka untuk berdiskusi dengan teman-temannya yang lain. Berbeda dengan Kemah, Gema lebih tertarik dengan isu-isu sosial-politik kemanusiaan yang sedang terjadi di lingkungan bangsa dan negaranya. Hal ini menurut Gema lebih menarik untuk dilakukan di dalam kesehariannya sebagai seorang agent of change. Gema merupakan anak kost dan pendatang di kampus USU. Sebagai anak kost, Gema lebih terbuka untuk bergaul dengan siapa saja. Namun entah mengapa juga, Gema tidak terlalu suka bergaul dengan temannya yang bernama Kemah. Menurut Gema, Kemah terlalu introvert dan membatasi diri dalam pergaulannya di kampus.

---

            Jika rekan-rekan mampu melihat relitas dari perbedaan ‘gaya hidup’ antara dua orang anak Tuhan di atas, maka pasti rekan-rekan tahu secara pasti siapa itu Kemah dan siapa itu Gema.

            Maksud penulis membuat tulisan ini tidak lain adalah, untuk mengetuk pintu hati seorang Kemah dan seorang Gema agar saling terbuka untuk melakukan diskusi, supaya es yang membeku dapat segera dicairkan.

            Kemah memiliki ajaran Kristen yang sama dengan Gema. Hanya saja yang membedakannya adalah metode keduanya untuk mengaplikasikan ajaran kasih yang diperolehnya dari Alkitab dan Tuhan yang sama, yaitu Jesus Christ. Tujuan hidup Kemah juga sama dengan tujuan hidup Gema, yaitu menjadi Garam dan Terang bagi lingkungan sekitarnya, serta menjadi seorang Mahasiswa Kristen yang kelak akan menjadi Sarjana yang berpendidikan dan takut akan Tuhan.

            Percayalah bahwa Kemah dan Gema adalah sama-sama laskar Kristus di dunia ini. Keduanya sama-sama terpanggil dan belum tentu terpilih. Ingatlah bahwa tidak ada manusia yang sempurna dan tidak berdosa di muka bumi ini. Untuk mencoba menjadi seorang manusia yang terpilih, maka sifat positif dari Kemah dan Gema harus dipersatukan. Tidak bisa tidak, porsi beribadah dan bersosial harus berimbang.

            Jika rekan-rekan mau memperhatikan kehidupan Kemah-kemah dan Gema-gema lainnya di luar kampus FP-USU, maka seharusnya Kemah dan Gema yang ada di FP-USU malu dan iri kepada mereka. Mereka bisa saling mendukung dalam pelayanan dan mereka juga bisa saling bersatu dalam memperjuangkan hak dan kewajiban mahasiswa Kristen (secara general) di dalam kampusnya. Sudah saatnya kita bersatu dalam kasih persaudaraan sejati Oikumene.

            Mudah-mudahan Kemah dan Gema berpikiran positif dalam membaca dan memaknai tulisan ini. Karena pada dasarnya tulisan ini adalah bentuk  kekecewaan banyak orang yang prihatin terhadap keadaan orang-orang yang tergabung dalam komunitas mahasiswa Kristen yang ada di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara yang (“sadar atau tidak sadar, sengaja atau tidak sengaja”) saling menjatuhkan satu sama lain.

 

Penulis mencoba melihat secara objektif berdasarkan pengalamannya yang pernah mengikuti kedua komunitas Kristen yang ada di FP-USU.


DILEMA ber-GMKI

 

Oleh : Ronald Hot Marnaek

(Wasek Bidang Aksi dan Pelayanan GMKI FP-USU 2004-2005)

 

                GMKI mempunyai ribuan anggota di seluruh Indonesia. Tetapi kader-kadernya tidak ada yang muncul di tingkat nasional 10 tahun belakangan ini. Kita tidak tahu siapa yang akan menggantikan senior-senior kita yang sudah tua. Hal ini terjadi akibat kurangnya pengkaderan dan motivasi anggota GMKI.

            Dalam berorganisasi di GMKI kita harus mempunyai tujuan dan targetan yang jelas agar kita tidak merasa rugi karena telah menghabiskan waktu dan uang. Tujuan yang jelas akan membuat kita semakin hidup dalam berorganisasi. Mahasiswa yang masuk GMKI banyak yang salah kaprah. Mereka hanya melihat bahwa senior GMKI banyak yang sukses dan menjadi pejabat serta tokoh sentral di republik ini tanpa melihat bagaimana proses pembentukan senior-senior tersebut menjadi besar.

            Tanpa disadari, dengan mengagung-agungkan senior, kita telah merendahkan diri kita sendiri. Senior dapat dijadikan contoh dan sumber motivasi dalam ber-GMKI. Namun kita tidak boleh menjadi diri mereka. Tujuan kita dalam ber-GMKI akan membuat kita lebih berkomitmen dan bersemangat dalam setiap kegiatan yang bernafaskan GMKI.

            Sebagai kader kita harus mampu menunjukkan bahwa kita dapat lebih dari yang lain. Kita harus sukses dalam kuliah dan sukses dalam berorganisasi.

Sebagai mahasiswa kristen, kita tidak boleh menjadi orang yang biasa-biasa saja. Hidup di negara yang masih mempunyai pikiran kolot dan terbelakang yang hanya masih memperhatikan SARA, kita dituntut untuk mempunyai kemampuan yang lebih.

            Kemampuan kader GMKI jangan hanya sampai tataran pandai dalam berretorika tetapi buntu dalam tindakan. Kemampuan tersebut harus merata dalam semua bidang karena keseimbangan adalah hal yang indah dalam hidup. Dalam diri seorang kader GMKI tidak ada kata terlambat untuk belajar. Tetapi jangan sampai kehilangan jati diri yang terbalut dalam kemunafikan.

            Pada zaman sekarang dituntut agar kita mempunyai kemampuan atau keahlian yang spesifik atau khusus. Sudah saatnya kader GMKI melihat perubahan tersebut. Artinya kita harus memiliki suatu keahlian yang dapat dijadikan modal. Dengan keahlian yang spesifik tersebut, kita dapat muncul ke permukaan, dimana orang lain menghargai kita karena kemampuan tersebut.

            Belajar dan selalu belajar harus kita tanamkan dalam hidup kita. Uang dan harta dapat mencapai titik jenuh dalam hidup kita, tetapi pengetahuan tidak akan pernah mencapai titik jenuh dalam hidup ini.


Refleksi Pendidikan Dalam Perspektif Theologia

 

Oleh : Prison Tarigan

(Ketua GMKI Koms. FP-USU 1998-1999)

 

“Manusia bukanlah gelas, yang dapat kau isi sesuka hatimu; Ia juga bukan stereotipemu, yang kau gandakan seperti dirimu; Manusia adalah ciptaan yang punya pikiran dan budi, yang punya nalar sejati, yang adalah anugerah penciptanya”. (Paulo Koeir, Pendidikan Kaum Tertindas)

 

                Sebuah ungkapan dari Paulo Koeire, menyadarkan kita akan fitrah sejati manusia, manusia sebagai makhluk yang punya pikiran, budi dan nalar harus melihat dunia dari apa yang dia lihat dan alami, bukanlah dari apa yang dilihat dan dialami orang lain. Sentuhan kata-kata ini merangkum pokok-pokok pikiran Paulo yaitu manusia memiliki pengetahuan dan karakter. Dua hal yang akan dicoba diasah dan diarahkan dalam sebuah institusi yang kita kenal dengan sekolah.

                Sekolah tanpa murid adalah gedung, tetapi  murid tanpa sekolah adalah Informal, tegas Roem Topotimasang dalam bukunya Sekolah Itu Candu. Dalam ini satu hal yang pasti Pendidikan terkait dengan institusiformal yaitu sekolah dan sekolah terkait dengan murid-muridnya (baca: peserta didiknya) Institusi formal menjalankan fungsinya yaitu proses pendidikan yang kita kenal dengan kurikulum, yang mengandung visi dan tema-tema pendidikan pada zamannya. Contoh : USU memiliki visi : University for industry. Maka, seluruh peserta didik akan menuju visi dan tema utamanya itu yaitu, Student for industry. Dalam hal ini maka aspek pengetahuan akan menjadi penekanan utama dalam proses pendidikan. Proses pendidikan ini akan memunculkan paradigma-paradigma pendidikan yang memberikan batas-batas standar yang baik, benar dan manusiawi. Disinilah paradoksnya, berbicara yang baik, benar dan manusiawi terkait dengan pengetahuan yang tertuang dalam nilai, kehadiran, kepatuhan yang justru mempersempit makna pengetahuan itu sendiri. Paradoksal dalam praktek pendidikan inilah yang melahirkan sekulerisme, dimana manusia hanya menghargai hal yang berkaitan dengan eksistensi dirinya, yaitu material, tanpa memiliki kepekaan sosial yang sangat rentan konflik. Mulai dari KKN, pengangguran sampai kepada masalah SARA dan HAM. “Yah wajar saja wong paradigma pendidikannya saja ndak beres!” Ketus Gus Dur. Karena pendidikan karakter dikesampingkan, distorsi nilai dalam dunia pendidikan dan dikotomi antara pengetahuan yang formal dan informal.

 

Sekulerisme atau theisme

 

                Amsal 1:3 dan 4 :”tujuan pendidikan adalah menjadikan pandai, kebenaran, kradilan dan kejujuran, memberikan kecerdasan kepada orang yang tidak berpengalaman dan pengetahuan serta kebijaksanaan kepada orang yang muda”

                Sebuah pandangan Alkitabiah yang dibantai habis John Dewey, Bapak Pendidikan Liberal dan Kapital. Alkitab berkata bahwa pendidikan adalah untuk mempersiapkan manusia dalam kehidupan, tetapi sekuleris berkata bahwa pendidikan adalah untuk mempersiapkan manusia bagi pekerjaan.Paham ini makin merebak semenjak 1930-an sampai sekarang. Meletakkan dasar pendidikan pada sekulerisme berarti meletakkan kata realitas sebagai hal yang bersifat fisik, pendidikan diperlukan agar manusia memenuhi target fisik, yaitu hasil interaksi antara materi, energi dan waktu dan peluang kebenaran bersifat empiris dan dapat ditagkap oleh indera. Moralitas adalah relatif yang terjadi dari consensus- konsensus social. Anda bisa lihat bagaimana sekulerisasi pendidikan ini terjadi  dan mewarnai institusi-institusi formal dan informal yang berkembang kapitalisme dan komersialisasi pendidikan yang meresahkan itu.

                Yoh.8 : 31 b dan 32 :” Jikalau kamu tetap dalam FirmanKu, kamu benar-benar adalah muridKu dan kamu akan mengetahui kebenaran dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu “

                Theisme alkitabiah memandang realitas yang tertinggi itu memiliki pribadi, dan pribadi itu adalah mutlak. Allah itu ada. Ia menciptakan alam semesta yang mempunyai dimensi fisik dan rohani, yang terlihat dan  yang tidak kelihatan. Karakter Allah membentuk moral yang mutlak dan pengetahuan adalah apa yang diungkapkan oleh Allah yang bersifat objektif dan dapat dikenali manusia. Objektif dan mutlak sama seperti pribadi Allah. Paham inilah yang sreharusnya menjadi filosofis pendidikan dimana dalam praksisnya pendidikan memfokuskan pada pengembangan inteligensia dan pembentukan karakter. Jika sudah terjadi sinergitas antara filosofis dan praksis, maka paradigma pendidikan akan menjadi ideal, yaitu mempersiapakan manusia untuk kehidupannya.


MENATAP GMKI DALAM DIMENSI KEKINIAN

 

Oleh Deden Raldos Simatupang

(Ketua Koms. GMKI FP-USU 2004-2005)

 

Pengantar

                Kemampuan GMKI hadir dan bergerak dinamis dalam kancah pergulatan waktu dan abad tidaklah terlepas dari nafas gerakan yaitu roh yang memotivasi diri dan kehadiran GMKI. Hingga kini kedirian dan perkembangan GMKI disulut oleh motivasi kesadaran terhadap lingkungannya dan panggilan Tuhannya. Kedua basic mind ini senantiasa mengalir dan terasa dalam setiap aksi dan refleksi, baik yang diperankan secara kelembagaan maupun secara fungsional melalui ekspresi kadernya.

                GMKI diperhadapkan pada suatu tantangan yang bersifat dinamis dan dituntut untuk selalu eksis dalam mengimpresi serta mengekspresikan segala fenomena yang terjadi di lingkungannya. Dan sebagai organisasi kemahasiswaan yang berwarna kekristenan, kemahasiswaan dan keIndonesiaan, GMKI melalui kader kadernya dituntut untuk selalu memberi garam, terang dan ragi dunia.

                 GMKI harus menjadi suatu pusat, sekolah latihan (leerschool) daripada orang-orang yang mau bertanggungjawab atas segala sesuatu yang mengenai kepentingan dan kebaikan dari negara dan bangsa. Sehingga melalui itu, GMKI mampu berdiri ditengah-tengah dua proklamasi : Proklamasi kemerdekaan nasional dan proklamasi Tuhan Yesus Kristus dengan Injil kehidupan, kematian dan kebangkitan.

 

Realitas GMKI dalam dimensi kekinian

                Sebagai organisasi kader, oraganisasi moral dan evangelisasi, GMKI senantiasa diperhadapkan pada sebuah tantangan lingkungan yang kerap kali tidak kita manfaatkan sebagai peluang yang cukup strategis dalam sebuah pelayanan dan persekutuan kita umat kristen. Kita lebih condong terlibat permasalahan dan fenomena lingkungan yang sifatnya reaksioner dan sering terjebak pada permasalahan-permasalahan yang tidak substansial serta sering terjebak pada pembangunan opini-opini yang sifatnya semantik, retorika dan sifat skeptisisme.

                Sebagai organisasi mahasiswa yang senantiasa menjunjung nilai-nilai keKristenan, kita diharapkan membawa kasih perdamaian pada semua orang. Menjaga keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan. Namun dalam praktiknya kita tidak memahami semua itu, sehingga yang terjadi adalah apresiasi dan interpretasi orang dan masyarakat lebih condong menilai bahwa oraganisasi yang kita diami adalah organisasi politik dan lebih bersikap anarkis dan arogan.

                Kita tidak menafikan bahwa GMKI berpolitik dan mungkin menunjukkan sikap-sikap politis, tetapi GMKI bukanlah organisasi politik ( AD/ART pasal 5 tentang Status ) yang mana secara lembaga GMKI terlibat dalam percaturan dan etika politik ( baca : Politik Praktis ). Ada pemahaman yang salah dan sangat keliru ketika banyak dari kita orang Kristen yang selalu mengklaim bahwa politik itu “kotor dan tabu”  dan tidak cocok dikonsumsi oleh mahasiswa dan masyarakat Kristen.

                Pengertian yang cukup sederhana, Politik merupakan kebijakan (policy). Kebijakan yang diambil, dikeluarkan untuk kepentingan orang banyak. Dan kita tidak akan pernal lepas pada dunia politik. Politik ibarat udara,  yang senang atau tidak senang, suka atau tidak suka harus kita hirup dan kita konsumsi. Nah permasalahannya sejauh mana kita dapat mempergunakan politik itu, sejauh mana kita dapat mencerna dan memetabolis politik itu di dalam diri kita. Dan mampu mengaktualisasikannya di dalam realitas kehidupan kita sehari-hari.,

                Mencermati fenomena di atas sudah menjadi tantangan bagi GMKI untuk dapat selalu terus menerus mereposisikan diri, membenahi diri serta merekonseptualisasikan diri secara riil sesuai dengan nilai-nilai keKristenan yang kita anut. GMKI diharapkan mampu memformulasikan sikap dan perbuatannya dalam satu koridor kedisiplinan dan etika normatif yang ada, mampu berpikir dan bersikap arif dan strategis sehingga ekses-ekses negatif yang selama ini berkumandang dapat secara nyata kita perbaiki.

 

Restrukturisasi GMKI

                Dalam skop nasional GMKI juga harus mampu dan berani menyuarakan suara-suara kenabiannya. Mampu memberikan peran yang cukup strategis dan signifikan terhadap polemik-polemik yang ada. Sebab selama ini GMKI yang terkesan sentralistik cenderung lambat dan kaku menyikapi fenomena dan permasalahan yang terjadi yang ada. Kita ternyata lebih asyik disibukkan pada permasalahan-permasalahan yang bersifat internal dan sruktural.

                Dalam tulisan tentang “Menatap Masa Depan Dalam Dimensi Kekinian” yang diterbitkan oleh Pengurus Pusat GMKI Masa bakti 1998 – 2000 merupakan cerminan perjalanan GMKI dalam kurun waktu 50 tahun kebelakang. Ada banyak hal yang terjadi di dalam tubuh GMKI dari waktu ke waktu dimana telah terjadi proses reduksi dan degradasi nilai-nilai GMKI.

                Pembangunan paradigma baru tentang GMKI ternyata tidak cukup untuk membangkitkan dinamika organisasi. Rekonseptualisasi berbagai format mulai dari format aksi dan pelayanan, format organisasi dan pendidikan kader terus-menerus dibangun sebagai jawaban dalam tantangan zaman.

                Melihat manifesto diatas maka GMKI harus cepat “bangun” dari tidurnya ini. GMKI harus secara nyata-nyata menyadari bahwa arus perjalanan organisasi sudah mulai melenceng dari koridor dan visi dan misi organisasi. Apabila hal ini dibiarkan berlarut-larut dikhawatirkan GMKI akan akan semakin kehilangan identitas dan citra GMKI lama kelamaan akan menjadi terkikis habis dan nilai jual dan nama baik GMKI di lingkungannya (Gereja, Masyarakat dan Perguruan Tinggi) akan tercap jelek.

                Untuk itu, menurut hemat penulis ada beberapa langkah yang menurut analisis penulis harus benar-benar cepat dibenahi dan disadari oleh kalangan sivitas GMKI. Langkah – langkah yang dimaksud adalah :

 

Restrukturisasi tentang format Organisasi Komunikasi

               Sebagai pilar utama dan pertama di dalam sruktural GMKI maka tantangan yang cukup urgen dihadapi GMKI adalah upaya membangun konsolidasi organisasi secara internal. Pembangunan ini tidak terlepas pada sistem komunikasi dan pendistribusian informasi tentang dinamika yang terjadi di tubuh organisasi baik secara regional maupun nasional. Sistem komunikasi efektif yang terjalin melalui “pesan” harus benar-benar sampai ke seluruh komponen organisasi. ” harus benar-benar sampai ke seluruh komponen organisasi. Yang terjadi selama ini adalah minimnya informasi yang masuk perihal kondisi dan dinamika Gerakan secara nasional. Kemudian hal yang tak kala pentingnya adalah reformasi GMKI dalam usaha perbaikan format rekrutmen (Maper). Maper sebagai salah satu wujud dinamika organisasi dan kesinambungan dalam upaya transformasi nilai-nilai GMKI organisasi cenderung mulai terdegradasi dan kehilangan makna. Ini disebabkan pola maper yang diatur cendrung tidak memberi toleransi dan kompromi secara objektif bagi calon anggota (mahasiswa). Sehingga yang terjadi adalah tidak banya kader-kader yang benar-benar memahami hakikat dan tujuan ber-GMKI itu sendiri.

 

Pola Pembinaan Kader

                Sebagai organisasi kader, GMKI dituntut untuk senantiasa dapat melahirkan kader-kader yang benar-benar empati, impres dan ekspres terhadap dinamika lingkungannya sesuai dengan azas-azas yang berlaku di GMKI. Penguatan terhadap persekutuan-persekutuan doa merupakan hal yang tak bisa ditawar lagi sebagai organisasi ke Kristenan dan nafas gerakan. Pelatihan-pelatihan pembinaan kader dalam wujud pembongkaran diri dan manajemen kepemimpinan senantiasa dapat dilaksanakan secara berkesinambungan dan terprogram. Kemudian budaya baca dan menulis yang senantiasa dijadikan sebagai aksi bersama dalam setiap dinamika organisasi sudah harus digalakkan sebagai penguatan opini dan pengembangan wacana.

 

Penataan format aksi dan pelayanan

                Aksi dan pelayanan (Akspel) yang merupakan corong gerakan harus mampu terus menerus dibenahi, diperhatikan dan diperbaiki. Sehingga upaya pelayanan di tiga medan pelayanan yang selama ini kita cita-citakan dapat terlaksana dengan baik. Untuk mencapai kondisi diatas faktor Sumber Daya Manusia ataupun kaderisasi setiap anggota yang ada di GMKI sangat berperan selaku aktor pelayanan. Oleh karena itu untuk pencapaian format dan harapan-harapan pelayanan di tiga medan pelayanan sebagai langkah awal adalah usaha pembobotan melalui pemahaman-pemahaman organisasi serta usaha-usaha dalam peningkatan khazanah intelektual, teologia, filsafat dan ilmu keprofesian lainnya merupakan syarat mutlak yang harus terus menerus dibudidayakan sebagai pematangan dan pemapanan sistem pendidikan kader. Oleh karena itu GMKI yang memiliki segudang konsep pendidikan kader yang di kita kenal dengan (PDSPK) harus dapat diterjemahkan dan diaktualisasikan dalam kehidupan berGMKI.

 

Kemandirian Finansial

                Fenomena yang paling jelas kelihatan di dalam tubuh GMKI adalah kurangnya kreatifitas kader-kader GMKI dalam mengolah dan memberdayakan potensi-potensi sebagai sumber keuangan. Banyak ide-ide kreatif dan besar harus terpaksa kandar akibat tidak memiliki dana. Sehingga sering terjadi GMKI (baca : kader) harus terpaksa “melacur” diri dan cenderung takut melaksanakan kegiatan-kegiatan besar yang membutuhkan dana yang cukup banyak. Kegiatan kegiatan berbasiskan swadaya dalam konteks kewirausahaan sederhana sudah harus mampu mulai digalakkan di tubuh organisasi sebagai upaya kemandirian finansial organisasi. Pemberdayaan potensi-potensi organisasi dengan semaksimal mungkin melalui gerakan swadaya kader yang sifatnya penyaluran kreatifitas dan inisiatif kader seperti penulisan artikel, agribisnis dan sebagainya merupakan tindakan-tindakan yang strategis harus mulai dipikirkan sejak sekarang.

 

                Pembenahan dan kemandirian organisasi menjadi organisasi yang profesional dan mapan yang selama ini kita idam-idamkan hanya dapat tercapai jika dan hanya jika kita semua menyadari betul kondisi internal lembaga kita masing-masing. Kita senantiasa dituntut kesetiaan, kesabaran dan kerja keras serta sama-sama bekerja untuk bekerjasa dalam usaha pembangunan organisasi ini kearah yang lebih baik. Sehingga visi dan misi yang selama ini melekat dikepala kita untuk kita emban bersama dapat segera tercapai. Dan kita juga akan semakin diasah dan didekatkan pada satu konsepsi yaitu kebijaksanaan serta pendewasaan diri. Demikianlah tulisan ini, kiranya dapat berkenan bagi saudara-saudara.


GMKI Menjadilah

 

Oleh : Jones Batara Manurung

(Ketua GMKI Koms. FP-USU 1999-2000)

 

Sebagai catatan awal ialah, ukuran apa yang dipakai untuk mengklasifikasikan suatu organisasi sebagai organisasi yang ideal. Jika ukurannya sebagaimana yang berlaku dalam teori-teori organisasi secara umum yang berkembang saat ini, maka kita perlu memperdebatkannya kembali, karena teori-teori itu direkonstruksi dari konteks yang berbeda. Antara teori yang satu dengan yang lain akan berbeda dalam memandang suatu organisasi, maka berbeda pula ukuran-ukuran yang dipakai untuk klasifikasi organisasi ideal. Sehingga memang dalam menentukan apakah organisasi itu telah atau belum ideal sangat bersifat subjektif.

                Sebagai pernyataan awal, organisasi dikatakan ideal jika ia menjadi dirinya. Apa, siapa, dimana, bagaimana, darimana, mau kemana, dan lainnya, dapat menjadi alat eksplorasi, untuk pemahaman pernyataan tersebut. Dengan kata lain, konsepsi organisasi yang ideal itu adalah jika ia dapat memahami hakekat awal ketika pertama sekali organisasi itu didirikan. Untuk memahami hal tersebut maka pentinglah kata Tanya yang menjadi alat eksplorasi tadi : apa GMKI, siapa GMKI, dimana GMKI, darimana GMKI, mau kemana GMKI, dan lainnya.

Dengan alur pemahaman demikian, pesan monumental Om Jo menjadi sangat bermanfaat untuk diulas. Pesan ini penuh makna, menyiratkan banyak hal yang dapat membantu pemahaman kita atas pertanyaan-pertanyaan pendek mendasar tadi. Selain itu pesan monumental Om Jo sangat menarik dijadikan sebagai refleksi bersama dalam melihat diri dalam konteks kekinian. Dari sana kita beranjak menggumuli hal membangun GMKI yang ideal.

                Tindakan ini adalah suatu tindakan yang historis bagi dunia mahasiswa umumnya dan masyarakat Kristen khususnya, GMKI menjadilah pelopor dari pada setiap kebaktian yang akan dan mungkin harus dilakukan di Indonesia, GMKI menjadilah suatu pusat sekolah latihan (Leerschool) daripada orang-orang yang mau bertanggung jawab  atas  segala  sesuatu yang mengenai kepentingan dan kebaikan dari negara dan bangsa Indonesia.

                GMKI bukanlah merupakan Gesellschaft, melainkan ia adalah suatu Gemainschaft, persekutuan dalam Kristus Tuhan, dengan demikian ia berakar baik dalam Gereja maupun dalam Nusa dan Bangsa Indonesia sebagai suatu bagian dari Iman dan Roh, ia berdiri ditengah-tengah dua proklamasi : proklamasi kemerdekaan Nasional dan proklamasi Tuhan Yesus Kristus dengan Injil kehidupan, Kematian, dan Kebangkitan”.

                Pesan itu disampaikan saat penyatuan PMKI dan CSV pada 9 Februari 1950. suatu pengharapan dari seorang Jo yang jujur dan setia, menjelaskan suatu tujuan dari tindakan yang historis itu, suatu pijakan atau pilar yang menjadi identitas kediriannya dalam 2 proklamasi. Pesan itu menampakkan Om Jo sebagai negarawan dan umat sejati yang memegang teguh Nasionalisme dan Oikumenismenya.

                Dalam tindakan historis itu ada tiga (3) point penting harapan Om Jo. Pertama, GMKI menjadilah pelopor dari pada setiap kebaktian yang akan dan mungkin harus dilakukan di Indonesia. Kedua, GMKI menjadilah suatu pusat sekolah latihan (Leerschool) daripada orang-orang yang mau bertanggungjawab atas segala sesuatu yang mengenai kepentingan dan kebaikan dari negara dan bangsa Indonesia. Ketiga, GMKI bukanlah merupakan Gesellschaft, melainkan ia adalah suatu Gemainschaft, persekutuan dalam Kristus Tuhan, dengan demikian ia berakar baik dalam Gereja maupun dalam Nusa dan Bangsa Indonesia.

                GMKI menjadilah pelopor dari pada setiap kebaktian…., memberi arahan bahwa GMKI diharapkan sebagai pelopor. Makna kata pelopor secara gramatikal : yang berjalan dahulu, depan ; perintis, yang membuka jalan, pionir. GMKI dituntut/diharapkan sebagai sosok yang selalu terdahulu/terdepan, menjadi perintis, pembuka jalan dari pada setiap kebaktian di Indonesia. Dengan tuntutan ini GMKI harus senantiasa dinamis, kreatif dalam merancang kebaktian, menjadi harapan sebagai sosok pembuka jalan, karena keberaniannya dalam menggali dan mendesain model-model baru yang dapat membawa semua orang terhadap konteks keimanan yang hidup dan menghidupkan.

                Sebagai pelopor maka GMKI yang paling diharapkan memberi solusi, tatkala suatu model kebaktian menjadi hal yang diperdebatkan, semisal ketika baru berkembangnya komunitas-komunitas karismatik yang banyak dipersoalkan itu. Kita dapat juga merujuk kondisi dunia kemahasiswaan/kampus disaat Daoed Joesoef menjadi menteri pendidikan, kebijakan NKK/BKK diterapkan untuk memberangus jiwa kritis mahasiswa. Pada kondisi itu, GMKI mengambil strategi yang tepat dengan mendirikan ibadah-ibadah kampus, inilah cikal bakal kebaktian mahasiswa Kristen.

                Dalam berbagai masalah yang berkenaan dengan hal ini GMKI yang paling diharapkan, jika GMKI tidak memberi solusi, barangkali tak akan ada solusi dalam permasalahan itu. GMKI juga menjadi pelopor pada pemaknaan “kebaktian”, apakah hanya menunjuk kepada hal rutinitas ibadah, ritual keagamaan semata tanpa pemaknaan substansi theologis-filosofis. Sebagai pelopor, GMKI harus selalu dapat merekonstruksi kebutuhan perkembangan iman kristiani yang tentunya terpusat pada Kristus (Christo Centris). Pada pemaknaan itu iman harus mampu di kontekstualisasi pada identitas ke- Indonesia-an. Dengan begitu iman akan berkembang subur dan berbuah karena tidak terserabut dari akar sosio budaya sendiri. Tugas yang diemban dalam pengharapan ini menuntut GMKI untuk selalu berperan pada setiap kebaktian kini, yang akan, dan mungkin terjadi.

                GMKI menjadilah suatu pusat sekolah latihan…, sebagai organisasi yang berdiri pada 2 proklamasi, GMKI diharapkan menjadi pusat dari sumber perubahan yang hakiki. Hal itu hanya mungkin dilakukan dengan pekerjaan besar dan panjang lewat media bernama sekolah. Pada konteks ini GMKI harus mampu berdiri teguh dalam merancang dan melaksanakan pusat sekolah sebagai proses pendidikan yang tak mengingkari hakekatnya. Kondisi terkini menunjukkan sekolah telah dimanipulir menjadi sesuatu yang mesti dilewati tiap manusia jika ia tak mau disebut terbelakang/ketinggalan. Pendidikan dewasa ini tidak lagi memenuhi hakekatnya, karena telah diinstitusionalisasi lewat legitimasi penjenjangan yang mengatur tiap manusia dalam sistem pabrik kehidupan.: siapa menjadi apa lebih ditentukan pada jenjang pendidikan. Setidaknya itu menjadi tantangan terkini dari suatu harapan Om Jo atas GMKI agar menjadilah suatu pusat sekolah latihan orang-orang yang mau bertanggungjawab terhadap negara dan bangsa Indonesia. Harapan ini mencerminkan sikap bahwa GMKI harus menjadi pusat model pendidikan yang membebaskan manusia dari tirani sistem yang menjajah. GMKI harus menjadi pusat sekolah latihan yang menghargai kondisi sosio budaya, sehingga tidak terserabut dari jati diri kemanusiaannya.

                GMKI bukanlah merupakan gesellschaft melainkan ia adalah merupakan gemeinschaft…, Om Jo memulai dengan kata “bukanlah”, karena harapannya GMKI bukanlah gesellschaft melainkan gemeinschaft. Pilihan 2 kata ini memang cukup populer pada masa Om Jo. Dalam beberapa kesempatan yang berbeda Bung Karno dan Bung Hatta sering menggunakan kata gesellschaft dan gemeinschaft. Ini menunjukkan bahwa 2 istilah sosiologi ini sedang menjadi pembicaraan hangat di masa itu. Gesellschaft (Patembayan) dan gemeinschaft (Paguyuban) merupakan buah pikiran Ferdinand Tonnies jauh sebelum Charles Horton Cooley mempopulerkan teori kelompok primer-sekundernya.

                Menurut Tonnies, di dalam setiap masyarakat selalu dapat dijumpai salah satu di antara tiga tipe Gemeinschaft/paguyuban. Pertama, paguyuban karena ikatan darah (gemeinschaft by blood), yaitu gemeinschaft yang merupakan ikatan yang didasarkan pada ikatan darah atau keturunan, contoh : keluarga, kelompok kekerabatan. Kedua, paguyuban karena tempat (gemeinschaft of place), yaitu suatu gemeinschaft yang terdiri dari orang-orang yang berdekatan tempat tinggal, sehingga dapat saling tolong menolong, contoh : rukun tetangga, rukun warga, arisan. Ketiga, paguyuban karena jiwa fikiran (gemeinschaft of mind), yang merupakan suatu gemeinschaft yang terdiri dari orang-orang yang walaupun tak mempunyai hubungan darah ataupun tempat tinggalnya tidak berdekatan, akan tetapi mereka mempunyai jiwa-fikiran yang sama, ideologi yang sama. Paguyuban semacam ini biasanya ikatannya tidaklah sekuat paguyuban karena darah atau keturunan.

                GMKI sebagai suatu kelompok sosial yang bentuk kehidupan bersamanya di ikat oleh hubungan batin yang murni dan bersifat nyata dan organis. Jika melihat pembagian tipe paguyuban yang diutarakan oleh Tonnies, GMKI lebih tepat di klasifikasikan kepada tipe paguyuban karena jiwa-fikiran (Gemeinschaft of Mind). Om Jo secara jelas tidak menginginkan GMKI sebagai Gesellschaft yang hanya ikatan lahir bersifat pokok untuk jangka waktu pendek, bersifat sebagai suatu bentuk dalam fikiran belaka (imaginary), serta struktur bersifat mekanis sebagaimana mesin. Mencermati hal ini, kita sudah sangat khawatir dengan eksistensi GMKI yang sudah tak mampu lagi mewujudkan harapan Om Jo. Akhir-akhir ini GMKI justru (sepertinya) mengarah pada Gesellschaft. Seluruh civitas GMKI diharap memberi respons atas hal ini, jika tidak, GMKI mungkin saja akan ganti baju sebagai organisasi berlabel perseroan terbatas (PT).

                Memenuhi pernyataan awal, organisasi ideal ialah jika ia menjadi dirinya, maka memaknai GMKI yang ideal berarti melakukan refleksi atas sejarah kediriannya. Pesan Om Jo dapat memenuhi tuntutan itu. GMKI menjadilah pelopor..., GMKI menjadilah suatu pusat sekolah latihan (Leerschool)…,GMKI menjadilah gemainschaft…, inilah prinsip dasar membangun GMKI yang ideal itu, yakni GMKI menjadilah.


Menatap Masa Depan Dalam Dimensi Kekinian :

Melihat Dengan Hati

 

Oleh : Laurens Muri Batubara

(Ketua GMKI Koms.FP-USU 2003-2004)

 

                Perguruan tinggi dipahami GMKI sebagai sumber kader, wadah berimprovisasi dan exercese intelektualitas. Melihat hal ini, maka urgensitas kehadiran GMKI adalah sebagai ‘agen pembebas’ dan ‘gereja yang incognito’. Agen pembebas berarti GMKI (baca: anggota) harus memiliki sikap kritis, responsive, dan realistis terhadap perkembangan ilmu dan teknologi (baca: modernisasi) yang telah disusupi oleh paham neoliberalisme dan kapitalisme. Dalam fungsi incognitonya GMKI adalah perpanjangan tangan gereja untuk memerankan gereja yang fungsional. Fungsional berarti ia (baca:GMKI) bersaksi, bersekutu, dan melayani.

                Namun, rangkaian penjabaran diatas justru terpendarkan oleh dinamika global lingkungannya. Dalam keilmuan kader telah terkonsumsi visi kapitalisme global yaitu industrialisme. Sistem teaching university secara bertahap menuju research university beralih ke university for industri. Universitas hanya menciptakan stereotipe-stereotipe yang dibutuhkan pasar. Kader tidak mampu lagi bersikap kritis, inovatif, karena telah dikelas sesuai visi universitasnya. Apa reaksi kader akan hal ini? Yang tercermin adalah sikap frustasi dan egoisme yang tinggi. Sikap sejati yang tidak terluapkan disalurkan dengan sangat agresif lewat cara-cara yang tidak sehat, hedonisme, happy going, dugem, anarki yang berdampak pada degradasi kualitas kader dan timbulnya konflik internal karena paham egosentris.

 

 

Lihatlah dengan hatimu

                Berangkat dari cerita injil Matius (baca: matius 15 : 1-14) dan injil Lukas (baca Lukas 11 : 37-54) yang sangatlah relevan saat ini. Kondisi zaman edan ini juga telah terjadi 2000 tahun yang lalu ketika orang farisi dan ahli-ahli taurat menerapkan peraturan-peraturan yang mendikotomikan hal-hal rohani dan jasmani. Orang-orang farisi memformulasikan sebuah sistem peraturan agar hidup yang edan itu lebih manusiawi dan kaum ahli taurat memformulasikan dasar-dasar teologisnya. Segala sesuatu yang dilakukan adalah upaya untuk mengaktualisasikan kaumnya yang melahirkan tirani-tirani doktrinasi, tirani-tirani adat istiadat dan hukum yang nyata-nyatanya telah menyimpang dari amanat Allah. Yesus telah paham akan penyimpangan yang dilakukan umat Allah, iman dan ilmu telah terkonsumsi oleh perkembangan zaman. Keputusasaan dan ketidakmampuan dalam mewujudnyatakan melahirkan aktualisasi yang tidak benar. Yang terstigma pada masa ini adalah ‘how to survive’ and ‘how to alive’. ’Become’ bukan ‘being’.

                Merujuk pada satu kata yaitu inkonsistensi dalam menjalankan iman dan inkonsistensin dalam memanfaatkan ilmu. Nilai-nilai kekristenan yang prinsipil pada awalnya, terpendam oleh dinamika zaman. Padahal nilai-nilai kekristenan itu sifatnya dinamis, tidak terikat oleh waktu. Ia tidak kaku dalam merespon berbagai persoalan .Ternyata apa yang dikatakan Yesus itu benar. Bukan apa yang masuk dari mulut itu yang haram, tetapi apa yang keluar dari mulut itulah yang haram. Yang semuanya keluar dari hati manusia. Segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan egoisme serta hujat, seluruh perilaku yang juga kita temukan di era ini.

                Bermotivasikan niali-nilai prinsipil kekristenanlah (baca Galatia 5:22) kita dapat konsisten dalam berperilaku. Ada sebuah cerita kuno dari timur tentang hal ini. Suatu hari Tuhan capai (capek) dengan manusia. Mereka selalu mengganggunya dengan perbuatan dan meminta banyak hal. Karena itu Dia bersabda: ”Aku akan bersembunyi sebentar” Lalu Ia bertanya pada penasehat-penasehatnya: ”dimana Aku akan bersembunyi” Banyak yang berkata: “sembunyi saja di puncak gungung tertinggi di dunia”. Ada juga yang berkata: ”sembunyi saja di balik bulan. Bagaimana mereka akan mencarimu disana? ”Kemudian Tuhan berpaling kepada malaikatnya yang paling pintar dan berkata “Menurutmu sebaiknya Aku bersembunyi dimana? ”Malaikat pintar itu tersenyum dan berkata: ”Pergi dan bersembunyilah didalam hati manusia. Itulah satu-satunya tempat yang tidak pernah mereka kunjungi” (Berjalan diatas air, Antonio De Melo, SJ)

                Sebuah cerita yang sangat indah dan kontemporer. Latihan refleksi akan membawa anda pulang ke hati anda.Disana terdapat motivasi dasar personal yaitu nilai-nilai kekristenan. Disana terdapat motivasi dasar ber-GMKI yang sadar akan lingkungannya dan panggilan Tuhannya. Tataplah masa depan dengan terlebih dahulu melihat hatimu. Disana tidak akan kau temui absurditas yang benar dan tidak benar, tidak akan kau temui dikotomi hal-hal jasmani dan rohani, egosentris ataupun komunalisme. Disana akan kau temui petunjuk untukmu menjadi ‘agen perubahan’, menjadi gereja yang incognito untuk melakukan hal-hal yang nyata yang akan membawa kedamaian (baca: Hadirnya Syalom Allah).


News :

 


Links :


Profile :


Others :


 

kembali ke awal

*******

Best View : 1024 x 768 with Mozilla, IE 5.5 or above